Pendahuluan
A. Latarbelakang
Dalam perkembangan yang sangat tajam dalam dimensi kehidupan manusia,
nilai-nilai keabadian sebagai manifestasi dari konsep perennial menjadi sesuatu
yang sangat menarik untuk dikaji ruang gerak dari dimensi perennial ini.
Kenyataan ini menjadi bukti bahwa dalam kehidupan ini terdapat hal-hal yang
bernilai sejati dari awal keberadaan manusia sampai tiada.
Dimensi perenial yang senantiasa ada dalam hidup ini adalah suatu kajian
yang membawa manusia untuk mengulas kembalai eksistensi keberadaannya.
Akhir-akhir ini kajian tentang perenial semakin mendapat proporsinya yang
segnifikan dalm realitas manusia modern. Kemunculam dari perhatian tidak lain
adalah timbulnya kesadaran mereka akan realitas hidup yang memilliki nilai
perputaran antara kebaikan dan keburukan.
Manusia modern mulai melihat akan kekurangan-kekurangan mereka terhadap
dimensi ruhaniah Tuhan sebagai pemilik dari dinamika kehidupan. Oleh karena itu
mengetahui serta memahami konsep pernial merupakan hal yang sangat penting
dalam perkembanaga ilmu pengetahuan. Kemampuan seorang calon sarja dan sajana
untuk mengaplikasiakan keilmuan di medan masyarakat tidaklah cukup hanya dengan
keterampilan-keterampilan yang telah diberikan diperguruan tinggi. Tapi
keterempilan-keterampilan tersebut harus didukung kemampuan berfikir untuk
membongkar kekurangan-kekurangan praktis dalm bingkai sistem yang luas.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah fisfat pendidikan serta
untuk didiskusikan di kelas tentang kosep perenialisme. Penulis berharap
setelah disampaikan dan mendisusikan makalah ini ditemukan isi subtansional
dari konsep perenilisme dalam satu bingkai kesepakatan bersama.
Pembahasan
A. Konsep perenialisme
Untuk melihat konsep awal perenialisme perlulah kita melihat dari
paradigm aliran ini. Sophia perenis
bukanlah disiplin ilmu tetapi sebuah pandangan dunia (world view) yang tidak hanya memberikan perspektif berdasarkan
disiplin intelektual, tetapi memberikan sumbngan dari kehidupan itu sendiri.
Dari sudut kebahasaan perinial berasal dari bahasan Latin, perinnis, yang kemudian diadopsi kedalam bahasa inggris, berarti abadi, kekal, atau bertahun-tahun. 1
Istilah philosopia perenis
(filsafat keabadian) diduga pertam kalinya digunakan di dunia Barat oleh Agus
Steuchus (1496-1548). 2 Augustinus menggunakan istilah ini sebagai
judul karyanya De perenni philosopia yang
diterbitkan pada tahun 1540. Kemudian, dipoulerkan oleh Leibniz dalm sepucuk
surat yang ditulis pada tahun 1715. Dalam surat tersebut ia menegaskan bahwa
membicarakan tentang pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan filosof kuno
dan tentang pemisah yang terang dari yang gelap, sebenarnya dia telah berurusan
dengan hal-hal yang bersifat perenial.3
Untuk melihat utuhnya konsep ini, kiranya perlu mengembalikan konsep ini
dalam kemasyuharan di Barat. Meskipun demikian jauh sebelum kemunculan di
Barat, filsafat uni telah muncul dalm agama Hindu dan Islam. Agama Hindu telah
membicarakan dalam istilah Sanata Dharma.
Dikalangan kaum muslim, mereka mengenal lewat Ibn Miskawih (932-1030), al-hikmah al- khalidah (Javidan Khirad dalam
bahasa Persia), yang telah begitu panjang lebar membicarkan filsafat perenial.4
De perenni philosopia, sebagai salh satu karya
Steuchus, adalah karya besarnya tentang filsafat perenial, Steuchus memamparkan
latar belakang tulisannya dengan pengulasannya secara umum bahwa terdapat
“prinsip tunggal dari segala sesuatu’ yang stud an selalu sama dal pengetahuan
semua manusia.5 titik kesamaan dari semua manusia inilah yang
menjadi tema-tema pokok filsafat Steuchus, bahakan tema ini menjadi kunci utama
untuk memahami filsafatnya serta objek dari filsafat perenialnya.
Kesamaan pengetahuan manusia memiliki unsure-unsur sejati dalam perjalan
sejarah, karena sejarah pada dasarnya berjalan seperti perjalanan waktu, tidak
mengenal “zaman kegelapan” maupun “zaman kebangkitan”.
Hanya ada satu
kesejatian tunggal yang mencakup semua periode sejarah, meskipun tidak selalu
menampakkan diri secar mencolok dalam setiap periode sejarah, namun pasti akan
dapat ditemukan oleh orang-orang yang mencarinya. Teologi yang sejati,
misalnya, tidak lain adalah kesejatian yang diwahyukan dan sudah dikenal sejak
wal sejarah manusia.6
Sebelum karya terbesar Steuchus (De
perennian) terdapat beberapa orang yang memeberikan pengaruh terhadap aspek
perenial terhadap dirinya antara lain Ficino
dan Pico. Bagi ficino, filsafat
perenial disebutnya sebagai fisafat kuno yang antik (philosopia priscorium) atau Prisca
Theologia, yang berarti atau teologi kuno yang terhormat.7
ficino menggambarkan dala tema sentral filsafatnya tentang adanya kesatuan dan
keutuhan dunia ini yang secar mendalam lebih rill dari pada keragaman yang
muncul pada penampakannya.8
Dalam pembahasannya yang lebih luas tentang kesatuan yang ada di Dunia
ini, Ficino membahasannya dala kedua bukunya. Pertama, commentary on the symposium, dalam buku ini ia mengungkapkan bahwa
cinta merupakan kekuatan pengikat yang menata dan menyatukan dunia. Kedua, Platonic Theology, pemaparannya dalam
buku ini lebih ditekankan kedudukan jiwa sebagai Viculum Universi: sebagai sentral penghubung antara dunia atas
dengan dunia bawah.9 dari bukunya yang kedua inilah menampakkan
tradisi berfikirnya sebagai salah satu pancaran konsep pemikiran plato.
Perhatiannya yang besar terhadap philosopia
priscorum atau prisca theologia
menumbuhkan keyakinan dalm diri Fecino bahwasannya kedua tradisi tersebut
adalah tradisi filsafat relijius yang sangat tua, dan menurut ficino dimulai
dar Nabi Musa:
Berkenaan denga enam teolog agung zaman kuno, telah
dicapai kesepakatan: yang pertama dari mereka adalah Zarathustra, pendiri agama
Magi, kedua adalah Hermes Trismegistus, pemula raja-raja Mesir. Orphus penerus
Hermes. Apglauphamus dinyatakan menerima warisan sakral dari Orphus. Phitagoras
melanjutkan Aglaophus dalam teologi. Sesudah Phitagoras ajaran ini dilanjutkan
oleh Plato yang dalam karya-karyanya telah berhasil memadukan, menambahi dan
mengembangkan ajaran bijak universal diatas dan menyempurnakannya.10
Simbolisme kesejatian yang digambarkan oleh Ficino
diatas, dengan klasifikasi tokoh-tokoh massa lampau sebelumnya, adalah suatu
penandaan yang kuat dalm dirinya dengan pengakuan nilai-nilai yang dibawa oleh
mereka tidak lain dari agama yang diwahyikan Tuhan kepada setiap mahluk-Nya.
Berbeda halnya dengan Ficino, pico dalam
mendeskripsikan kefilsafatanya tidak hanya menjadikan philosopia priscorium atau prisca
Theologia sebagai dimensi utama adanya sumber kesejatian dalam trades ini.
Bagi Pico kesejatian tidak memunculkan pada tradisi filsafat, teologia maupun
tertentu saja, melainkan semuannya memilki sesuatu yang dpat dikontribusikan
pada kesejatian yang utuh.11
Tradisi kesejatian yang terdapat pada diri Pico lebih
berhaluan kepada pengakuan umumnya akan
adanya kebenaran pada setia ajaran keagamaan ataupun dalam diri orang bijak
massa lampau. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasannya aspek-aspek kesejatian
tersebut dapat juga ditemukan dalam tulisan-tulisan Ibnu Rusyd, Al-Qur’an, pada
karya-karya orang skolastik dan banyak tempat lainnya.12 tingginya
pengakuan Pico ats kesejatian-kesejatian yang terdapat dari sumber-sumberlain
diluar keyakinannya menumbuhkan dalam dirinya suatu tedensi sinkretisme dan eklektik yang tinggi.
Melanjutkan tradisi berfikir kedua tokoh diatas, dalam
pemaparan steuchus dimensi perenial, ia melihat agama tidak lain sebagai
pijakan hidup manusia dalm memanifestasikan hidup mereka untuk mencapai
kesejatian. ‘Filsafat Sejati” sebagai salah satu bagian pokok perhatian
steuchus merupakan filsafat yang mengarah pada kesalehan dan kontemplasi kepada
Tuhan, filsafat dan agama sejati adalah yang selalu mengajak dan mendorong
manusia untuk menjadikan mereka khalifah tuhan.13
Untuk menciptakan pemahaman atas keberadaan manusia
sebagai khalifah tuhan, Steuchus memberikansuatu landasan epistemologi yang
dapat dijadikan pijakan dalam fisafat perenial untuk mengetahui hakikat manusia
sebagai hkhalifah Tuhan. Landasan ini dibangun ata suatu argumen bahwa filsafat
perenial memiliki epistemologi dimana Tuhan mendorong pada kehidupan saleh
serta kotemplasi terhadap Tuhan.14
Kesalehan dalam hidup serta mermenungan terhadap Ilahi
adalah salah satu sara bagi manusia untuk mencapai kesejatian :perenial”,
karena Tuhan sebagi realitas adalah Absolut, Tidak Terbatas, Maha Mulia, serta
Sempurna. Di dalam diri-Nya ke-Agungan, Asal dari segal sesuatu yang
diciptakan, dan tidak ada kekurangan didalam diri-Nya.15
Kesejatian senantiasa membangkitkan usaha manusia
untuk menuju Tuhan gunu menjadi sama dengan-Nya. Arena tuhan adalah “tujuan
yang jelas dan sejati” suatu acuan yang harus ditiru serta akan senantiasa
seperti itu.16
keberlangsungan dari tradisi “filsafat sejati” disinilahyang menjadi
suatu gari besar dari pemikiran Steuchus dengan berlandaskan kepada
keberlanjutan dari sejarah “filsafat sejati” ini. Dari sini pula istilah
filsafat pernial seantiasa menempatkan peranannya.
Lebih lanjut,
dimensi perenial dengan kesejatian abadi dalam perkembangannya dibahas dalam
suatu konsep yang sangat baik oleh Goofried Wilhelm Leibniz dan kemudian
dipopulerkan oleh Aldous Huxley dengan mengatakan bahwa filsafat perenial
adalah metafisika yang mengakui realitas Ilahi yang subtansional bagi dunia
bendawi, hayati dan akali; psikologi menemukan sesuatu yang serupa di dalam
jiwa, atau bahkan identik dengan realitas Ilahi; etika yang menempatkan tujuan
akhir manusia di dalam pengetahuan tentang dasar (ground) yang imanen17
dan transenden18 dari seluruh wujud merupakan hal-hal yang
bersifat imemoral dan universal.19
Realitas metafisis
sebagai bagian mendasar dari filsafat perenial mengalami perkembangan yang
senantiasa ada dalam sejarah, karena filsafat perenial yang berkembang sempurna
di semua waktu dan tempat telah memberkan jawaban tang secara fundamental sama.
Dasr Ilahi dari segala eksistensi adalah Maha Absolut yang spiritual, tak dapt
dikatakan menurt pikiran deskriptif, tetapi (dalam keadaan tertentu) dapat
dialami secar langsung dan disadari oleh manusia.20
Maha Absolut yang
spiritual sebagai reakitas Supreme
yang bersifat Absolut, adalah keabsolutan-Nya yang tidak mengalami penambahan
maupun pengurangan, tidak mengalami kelipatan maupun pembagian; ia, dengan
demikian adalah yang sejak semula diri-Nya sendiri, dan seara total adalah
diri-Nya sendiri. Sedangkan dengan ketak berhinggaan-Nya, ia sama sekali tidak
dibatasi oleh faktor-faktor apapun; ia adalah potensialitas atau kemungkinan
semata-mat; dan ia adalah kemungkinan dari segala sesuatu ini, tidak ada
pencipta maupun yang diciptakan, tidak ada maya
ataupun Samsara.21
Metafisika dalam
perspekti filsafat perenial dimaknai dewngan pengetahuan ketuhanan yang tidak
semat-mata hasil karya mental yang bias merubah setiap terjadinya perubahab
budaya dalam suatu daerah ataupun dengan diketemukannya pengetahuan baru dalam
dinamika kehidupan dunia. Metafisaka tradional-sebutan dalam dimensi
perenial-inilah yang dalam realitasnya menjadi bagian pokok dalam metafisik. Ia
adalah pengetahuan suci yang terletak dijantung setiap agama, yang menerangi
setiap ritual keagamaan, ajaran serta symbol-simbolnya, kunci utama untukagam
lain dibumi tanpa harus mengurangi keistimewaan-keistimewaan agam tersebut atau
mengurangi komitmen keberagaman bersama untuk saling mengerti dan belajar agama
orang lain.22
Dimensi metafisika
senantiasa dimiliki dan akan ada dalam ke-Absolutannya. Untuk melihat
kedudukannya masing-masing dapt dikategorisasikan dimensi berikut:
Yang tak terhingga
merupakan dimensi intrinsic dari pemenuhan yang sesuai bagi Yang Absolut;
membicarakan Yang Absolut berarti membicarakan Yang Tak Terhingga, yang stu
tidak mungkin ada tanpa yang lain. Secara simbolis dapt digambarkan hubungan
antara kedua realitas Suprem tersebut
dengan contoh-contoh sebagai berikut. Dalm dimensi ruan, Yang Absolut adalah
titik, sedang Tak terhingga adalah perluasan; dalam dimensi waktu, Yang Absolut
adalh saat, sedang Yang Tak Terhingga adlah durasi; dalam tataran materi, yang
Absolut adalah ether-subtansi
primodial, dasar yang dimana-mana-dan Yang Tak Terhingga adalh kemungkinan
rangkaian subtansi-subtansi yang tak Terhingga jumlahnya; dalam tataran bentuk,
Yang Absolut adalah sphere-bentuk
yang sederhan dan primodial-dan Yang Tak Terhingga adalah
kemungkinan-kemungkinan rangkaian angka-angka, kuantitas-kuantitas atau
totalitas.23
Perbedaan kedua
unsure relitas suprem diatas mencerminkan suatu tradisi
yang memadukan dua aspek fundamental realitas yaitu esensi dan potensi, dengan
suatu landasan keduanya adlah unsure-unsur sejati yang dimiliki oleh Yang Maha
Kuasa. Keduanya akan senantiasa berjalan dalam kenyataan yang terus berlanjut
disegenap dataran sejarah kehidupan manusia.
Asas metafisis
sebagai dimensi pokok dari filsafat perenial dinyatakan pula oleh Huston Smith
denga memanfaatkan kebangkitan filsafat perenial sebagai saran untuk
membangkitkan doktrin-doktrin primodial (wahyu,doktrin agama, dan tradisi
suci). Berdasarkan pengalaman yang pernah dijalani, bahwa semua doktrin yang berkenaan
denhgan realitas supreme-agama,
mistik dan filsafat-selalu memuat “sesuatu” yang sama, dan justru tampak
sebagai intinya, serta melampaui batas-batas temporal. Dari situ ia
menyimpulkan bahwa memang terdapat doktrin-doktrin primodial dan universal,
namun dalam sejarah manusia muncul dalam bentuk yang beragam. Dan doktrin
primodial itu tidak lain adalah peranan dari dimensi perenial.24
Dalam penegasan
yang paling mendasar stechus menyatakan tentang filsfat perenial sebagai hikmah
yang berasal dari Yang Asal Ilahi, yaitu pengetahuan sacral yang diberikan oleh
Tuhan kepada Adam, namun dengan semakin banyaknya jumlah manusia, ia menjadi
semakin kabur.25
Akan tetapi dalam keadaan manusia yang plural ini dimensi dari hikmah
abadi tidak pernah berlalu dari porosnya sebagai asas yang abadi
Manusia sebagai
makhluk yang diberikan kepadanya pengetahuan sakral oleh Tuhan, dengan
pikirannya-ia mampu mencapai esensi dan totalitas-terdapay data fundamental
mengenai Sophia perenis, yaitu
realitas absolute yang secar definitive menjadi kebajikan paling besar, dan
juga keabadiannya-yang meliputi segala sesuatu-sebagai konsekuensi intrinsic
serta menyebabkan satu proyeksi yang sifatnya relati atau sementara.26
berlandaskan kepada dimensi pkok diatas manusia senatiasa dibawa untuk mengerti
akan hakikatnya yang pasti dalam dunia ini.
Filsafat perenial
mengajarkan bahwa setiap penurunan kearah materio selalu akan diikuti adanya
kenaikan kearah spiritual. Sebagaimana ajaran Upanishad:
“ajaran ini juga
memiliki teori pancaran berkaitan dengan atman. Dikatakan bahwa dari Atman
muncul ruang, dar ruang muncul udar, dari udar muncul api, dari api muncul air
dan dari air muncul tanah… dalam proses kebalikannya, masing-masing elemen akan
terserap kedalan unsur darimana mereka berasal, kondisi inilah yang dinamakan pralaya; dan apa yang akan tetap ada”.
(Dange: 1984, hlm.26-266).27
Kenyataan inilah
yang senantiasa tergambar dalam perjalanan dimensi-dimensi perenial dalam
perjalan hidup. Dalam satu karyanya, Echoes
of Perenial Wisdom (1992), Fritjof Schuon mendefinisikan filsafat perenial
sebagai “the universal Gnosis28 which always has exited and always
will exist-suatu pengetahuan gnoistik dimana telah ada dari dahulu kala dan
akan selalu ada untuk selama-lamanya-“.29
Keutuhan manusia
dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh Tuhan untuk dijalankan di bumi
mencerminkan bahwa dunia ini secara esensial bersifat Ilahiah, atau dalam
bahasa Huxley “realtas Ilahi bersifat subtansional bagi dunia”. Hal ini juga
untuk menunjukkan bahwa realitas tersusun dalam tatanan hirarkis, mulai dari
Tuhan, turun kelevel spiritual, psikis, organis, dan inorganic. Hirarki
tersebut berkenaan dengan besar kecilnya realitas, kekuasaan dan nilai. Semakin
tinggi tingkatan, atau semakin semakin dekat dengan yang Ilahi, akan lebih
besar tinggkat realitas, kekuasaan serta nilai yang dimiliki. Sebaliknya,
semakin rendah tingkatan atau semakin jauh dari yang Ilahi, maka realita,
kekuasaan dan nilai yang dimiliki juga akan semakin kecil.30
Unsure keabadian
yang senantiasa ada dari sejak awal munculnya kepercayaan manusia sampai massa
hidupnya sekarang adalah manifestasi dari gambaran nilai-nilai sakral yang
memiliki keberlanjutan dalm setiap zaman. Berbeda dengan realitas manusia
modern yang hidup dalam bingkai pengetahuan eksternal, serta tidak langsung
berhubungan dengan dirinya, mereka lebih mengedepankan nuansa modernitas itu
sendiri serta memotong akar-akar tradisional yang tidak lain adalah “ibu” yang
melahirkan peradapan modern itu sendiri.
Menurut perspektif
perenial, niscanya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki cakrawa spiritual
bukan karena spiritual itu tidak ada, tetapi manusia modern “hidup dipinggir
lingkaran eksisitensi”. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya melalui sudut
pandang pinggiran eksistensinya, tidak pada pusat spiritualitas dirinya
sehingga mengakibatkan lupa akan siap mereka sebenarnya.31 karena
itu, bukan ruangnya manusia untuk hidup “dipinggir eksistensi” tetapi
seharusnya manusia hidup pada “Pusat Eksistensi”. Inilah pesan kearifan
perenial.32 suatu Sophia
perennis yang akan membimbing manusia untuk mengerti dimana mereka harus
berpijak.
Pesan kearifan Sophia perennis ingin
kembali mengangkat pesan moral untuk kembali kepada fitrah manusia.33 manusia mengalami krisis karena telah
melanggar fitrah asalnya sebagai manusia. Karena itu, manusia perlu
menghidupkan kembali fitrah asasinya dalm kehidupan sehari-hari. Firth asasi
manusia-seperti berkiblat pada keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi,
sikap inklusif ditengah pluralitas-harus menjadi komitmen dalam keseharian
hidup manusia.34
Catatan kaki:
1. John M. Echoles dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris-Indonesia
(Jakrarta: Gramedias, 200).hlm. 425
2. Gerald O’Collins, S.j. dan
G. Farrugia, S.J., kamus Teologi,
hlm. 82.
3. Lihat kata pengantar
Sayyed Hossein Nasr dalam: Frithjof Schuon,
Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998),
hlm. 7.
4. Komaruddin Hidayat dan
Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Massa Depan, hlm. 40.
5. Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat abadi,
hlm. 43.
6. Ibid, hlm. 44
7. Komaruddin Hidayat dan
Wahyuni Nafis, agama Massa Depan
Perspektif Filsafat Perenial, hlm.41.
8. Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi,
hlm. 36
9. Ibid.
10. Ibid, hml.37.
11. Ibid, hlm. 39.
12. Ibid, hlm. 41
13. Ibid, hlm. 47
14. Ibid, hlm.48
15. Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science ( Albany;
state University of New York Perss, hlm 1993), hlm. 8.
16. Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak jejak Filsafat abadi,
hlm. 47
17. Imanen, yang ada di dalam,
yang beropersi dalam suatu proses. Tuhan yang imanen berada di dalam struktur
alam, mengambil bagian yang menentukan dalam proses-prosesnya, serta kehidupan
manusia. Lihat, Harold H. titus (dkk) persoalan-persoalan
Filsafat terj., H. M. Rasdjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 511.
18. Transenden, sesuatu yang
jauh diatas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman. Dalam teologi, istilah ini
bererti bahwa Tuhan itu diluar atau jauh dari dalam. Ibid., hlm. 520.
19. Aldous Huxley, Filsafat Perenial, terj., Ali Noer Zaman
(Yogyakarta: Qolam, 1001), hlm. 1.
20. Ibid, hlm. 37.
21. Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Fisafat abadi,
hlm. 178.
22. Seyyed Hossein Nasr, The Need for Scired science, hlm. 54.
23. Ibid
24. Ibid, hlm. 5
25. Ibid, hlm. 149
26. Frithjof Schuon, transfigurasi Manusia, terj., Fakhruddin Faiz (Yogyakarta: Qalam,
2002), hlm 82.
27. Ahmad Permata, Perenialisme Melacak Jejak filsafat Abadi.
Hlm. 90.
28. Gnosis adalah suatu
pengetahuan tanpa perantara yang mengungkapkan sesuatu yang universal. Baca, Ma’an Ziyadah, Al-Mausu’ah al-Faslsafiyyah
al-alrabiyah (Al-Ma’had al-inma’ al-arabi, 1986), hlm. 587.
29. Fritjof Schoun, trasfigurasi Manusia. Hlm. x
30. Ahamad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi,
hlm. 74.
31. Fritjof Schoun. Transfigurasi Manusia, hlm. xv
32. Sukudi, New
Age Wisata Spiritual Lintas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 72.
33. Fitrah, sifat dan watak
primodial suci, di dalam sifat dan watak primodial, setiap mikrokosmos manusia
merupakan bentuk lahiriah dari makna batiniah. Makna batiniahnya diberi nama
“Allah”. Sifat dan watak primodial pertama kali tampak pada perjanjian antara
Allah dan anak keturunan adam yang belum diciptakan. Setiap anak dilahirkan
sesuai dengan perjanjian ini. Lihat: Amatullah Amstrong, kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 72.
34. Ibid, hlm. 21.
Daftar pustaka:
M. Echols, john dan Hassan
Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2000.
O’Collins, S.J., Gerald dan Edward G. Farrugia, S.J., A concise Dictonary
of Theologia, terj., I. Suharyo, Pr. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Schuon, Frithjof. Islam dan Filsafat Perenial., terj., Rahmani Astuti.
Bandung: Mizan, 1998.
Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Massa Depan
Perspektif Pereniali. Jakarta: Gramedia, 2003.
Permata, Ahmad Norma. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Nasr, Seyyed Hossein. The Need for Sacred Sciece. Albany: state
University of New York Press, 1993.
h. Titus, Harold, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat. Terj, H. M.
Rasdjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Huxley, Aldous. Filsafat Perenial, terj., ali Noer Zaman. Yogyakarta:
Qalam, 2001.
Schoun, Frithjof. Transfigurasi Manusia, ter., Fakhruddin Faiz.
Yogyakarta: Qalam, 2002
Ziyadah, Ma’an. Al.-Mausu’ah al-Falsafiyyah al-Arabiyah., Al-Ma’had
al-inma’ al-Arabi, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar