Musik

Minggu, 23 Maret 2014

FILSAFAT PERENIALISME



oleh: Sayd Nursiba
Pendahuluan

A.     Latarbelakang
Dalam perkembangan yang sangat tajam dalam dimensi kehidupan manusia, nilai-nilai keabadian sebagai manifestasi dari konsep perennial menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dikaji ruang gerak dari dimensi perennial ini. Kenyataan ini menjadi bukti bahwa dalam kehidupan ini terdapat hal-hal yang bernilai sejati dari awal keberadaan manusia sampai tiada.
Dimensi perenial yang senantiasa ada dalam hidup ini adalah suatu kajian yang membawa manusia untuk mengulas kembalai eksistensi keberadaannya. Akhir-akhir ini kajian tentang perenial semakin mendapat proporsinya yang segnifikan dalm realitas manusia modern. Kemunculam dari perhatian tidak lain adalah timbulnya kesadaran mereka akan realitas hidup yang memilliki nilai perputaran antara kebaikan dan keburukan.
Manusia modern mulai melihat akan kekurangan-kekurangan mereka terhadap dimensi ruhaniah Tuhan sebagai pemilik dari dinamika kehidupan. Oleh karena itu mengetahui serta memahami konsep pernial merupakan hal yang sangat penting dalam perkembanaga ilmu pengetahuan. Kemampuan seorang calon sarja dan sajana untuk mengaplikasiakan keilmuan di medan masyarakat tidaklah cukup hanya dengan keterampilan-keterampilan yang telah diberikan diperguruan tinggi. Tapi keterempilan-keterampilan tersebut harus didukung kemampuan berfikir untuk membongkar kekurangan-kekurangan praktis dalm bingkai sistem yang luas. 
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah fisfat pendidikan serta untuk didiskusikan di kelas tentang kosep perenialisme. Penulis berharap setelah disampaikan dan mendisusikan makalah ini ditemukan isi subtansional dari konsep perenilisme dalam satu bingkai kesepakatan bersama.






Pembahasan

A.     Konsep  perenialisme
Untuk melihat konsep awal perenialisme perlulah kita melihat dari paradigm aliran ini. Sophia perenis bukanlah disiplin ilmu tetapi sebuah pandangan dunia (world view) yang tidak hanya memberikan perspektif berdasarkan disiplin intelektual, tetapi memberikan sumbngan dari kehidupan itu sendiri. Dari sudut kebahasaan perinial berasal dari bahasan Latin, perinnis, yang kemudian diadopsi kedalam bahasa inggris, berarti abadi, kekal, atau bertahun-tahun. 1
Istilah philosopia perenis (filsafat keabadian) diduga pertam kalinya digunakan di dunia Barat oleh Agus Steuchus (1496-1548). 2 Augustinus menggunakan istilah ini sebagai judul karyanya De perenni philosopia yang diterbitkan pada tahun 1540. Kemudian, dipoulerkan oleh Leibniz dalm sepucuk surat yang ditulis pada tahun 1715. Dalam surat tersebut ia menegaskan bahwa membicarakan tentang pencarian jejak-jejak kebenaran di kalangan filosof kuno dan tentang pemisah yang terang dari yang gelap, sebenarnya dia telah berurusan dengan hal-hal yang bersifat perenial.3
Untuk melihat utuhnya konsep ini, kiranya perlu mengembalikan konsep ini dalam kemasyuharan di Barat. Meskipun demikian jauh sebelum kemunculan di Barat, filsafat uni telah muncul dalm agama Hindu dan Islam. Agama Hindu telah membicarakan dalam istilah Sanata Dharma. Dikalangan kaum muslim, mereka mengenal lewat Ibn Miskawih (932-1030), al-hikmah al- khalidah (Javidan Khirad dalam bahasa Persia), yang telah begitu panjang lebar membicarkan filsafat perenial.4
De perenni philosopia, sebagai salh satu karya Steuchus, adalah karya besarnya tentang filsafat perenial, Steuchus memamparkan latar belakang tulisannya dengan pengulasannya secara umum bahwa terdapat “prinsip tunggal dari segala sesuatu’ yang stud an selalu sama dal pengetahuan semua manusia.5 titik kesamaan dari semua manusia inilah yang menjadi tema-tema pokok filsafat Steuchus, bahakan tema ini menjadi kunci utama untuk memahami filsafatnya serta objek dari filsafat perenialnya.
Kesamaan pengetahuan manusia memiliki unsure-unsur sejati dalam perjalan sejarah, karena sejarah pada dasarnya berjalan seperti perjalanan waktu, tidak mengenal “zaman kegelapan” maupun “zaman kebangkitan”.



Hanya ada satu kesejatian tunggal yang mencakup semua periode sejarah, meskipun tidak selalu menampakkan diri secar mencolok dalam setiap periode sejarah, namun pasti akan dapat ditemukan oleh orang-orang yang mencarinya. Teologi yang sejati, misalnya, tidak lain adalah kesejatian yang diwahyukan dan sudah dikenal sejak wal sejarah manusia.6
Sebelum karya terbesar Steuchus (De perennian) terdapat beberapa orang yang memeberikan pengaruh terhadap aspek perenial terhadap dirinya antara lain Ficino dan Pico. Bagi ficino, filsafat perenial disebutnya sebagai fisafat kuno yang antik (philosopia priscorium) atau Prisca Theologia, yang berarti atau teologi kuno yang terhormat.7 ficino menggambarkan dala tema sentral filsafatnya tentang adanya kesatuan dan keutuhan dunia ini yang secar mendalam lebih rill dari pada keragaman yang muncul pada penampakannya.8
Dalam pembahasannya yang lebih luas tentang kesatuan yang ada di Dunia ini, Ficino membahasannya dala kedua bukunya. Pertama, commentary on the symposium, dalam buku ini ia mengungkapkan bahwa cinta merupakan kekuatan pengikat yang menata dan menyatukan dunia. Kedua, Platonic Theology, pemaparannya dalam buku ini lebih ditekankan kedudukan jiwa sebagai Viculum Universi: sebagai sentral penghubung antara dunia atas dengan dunia bawah.9 dari bukunya yang kedua inilah menampakkan tradisi berfikirnya sebagai salah satu pancaran konsep pemikiran plato.
Perhatiannya yang besar terhadap philosopia priscorum atau prisca theologia menumbuhkan keyakinan dalm diri Fecino bahwasannya kedua tradisi tersebut adalah tradisi filsafat relijius yang sangat tua, dan menurut ficino dimulai dar Nabi Musa:
Berkenaan denga enam teolog agung zaman kuno, telah dicapai kesepakatan: yang pertama dari mereka adalah Zarathustra, pendiri agama Magi, kedua adalah Hermes Trismegistus, pemula raja-raja Mesir. Orphus penerus Hermes. Apglauphamus dinyatakan menerima warisan sakral dari Orphus. Phitagoras melanjutkan Aglaophus dalam teologi. Sesudah Phitagoras ajaran ini dilanjutkan oleh Plato yang dalam karya-karyanya telah berhasil memadukan, menambahi dan mengembangkan ajaran bijak universal diatas dan menyempurnakannya.10 
Simbolisme kesejatian yang digambarkan oleh Ficino diatas, dengan klasifikasi tokoh-tokoh massa lampau sebelumnya, adalah suatu penandaan yang kuat dalm dirinya dengan pengakuan nilai-nilai yang dibawa oleh mereka tidak lain dari agama yang diwahyikan Tuhan kepada setiap mahluk-Nya.

Berbeda halnya dengan Ficino, pico dalam mendeskripsikan kefilsafatanya tidak hanya menjadikan philosopia priscorium atau prisca Theologia sebagai dimensi utama adanya sumber kesejatian dalam trades ini. Bagi Pico kesejatian tidak memunculkan pada tradisi filsafat, teologia maupun tertentu saja, melainkan semuannya memilki sesuatu yang dpat dikontribusikan pada kesejatian yang utuh.11
Tradisi kesejatian yang terdapat pada diri Pico lebih berhaluan kepada pengakuan umumnya  akan adanya kebenaran pada setia ajaran keagamaan ataupun dalam diri orang bijak massa lampau. Lebih lanjut ia mengatakan bahwasannya aspek-aspek kesejatian tersebut dapat juga ditemukan dalam tulisan-tulisan Ibnu Rusyd, Al-Qur’an, pada karya-karya orang skolastik dan banyak tempat lainnya.12 tingginya pengakuan Pico ats kesejatian-kesejatian yang terdapat dari sumber-sumberlain diluar keyakinannya menumbuhkan dalam dirinya suatu tedensi sinkretisme dan eklektik yang tinggi.
Melanjutkan tradisi berfikir kedua tokoh diatas, dalam pemaparan steuchus dimensi perenial, ia melihat agama tidak lain sebagai pijakan hidup manusia dalm memanifestasikan hidup mereka untuk mencapai kesejatian. ‘Filsafat Sejati” sebagai salah satu bagian pokok perhatian steuchus merupakan filsafat yang mengarah pada kesalehan dan kontemplasi kepada Tuhan, filsafat dan agama sejati adalah yang selalu mengajak dan mendorong manusia untuk menjadikan mereka khalifah tuhan.13
Untuk menciptakan pemahaman atas keberadaan manusia sebagai khalifah tuhan, Steuchus memberikansuatu landasan epistemologi yang dapat dijadikan pijakan dalam fisafat perenial untuk mengetahui hakikat manusia sebagai hkhalifah Tuhan. Landasan ini dibangun ata suatu argumen bahwa filsafat perenial memiliki epistemologi dimana Tuhan mendorong pada kehidupan saleh serta kotemplasi terhadap Tuhan.14
Kesalehan dalam hidup serta mermenungan terhadap Ilahi adalah salah satu sara bagi manusia untuk mencapai kesejatian :perenial”, karena Tuhan sebagi realitas adalah Absolut, Tidak Terbatas, Maha Mulia, serta Sempurna. Di dalam diri-Nya ke-Agungan, Asal dari segal sesuatu yang diciptakan, dan tidak ada kekurangan didalam diri-Nya.15
Kesejatian senantiasa membangkitkan usaha manusia untuk menuju Tuhan gunu menjadi sama dengan-Nya. Arena tuhan adalah “tujuan yang jelas dan sejati” suatu acuan yang harus ditiru serta akan senantiasa seperti itu.16



keberlangsungan dari tradisi “filsafat sejati” disinilahyang menjadi suatu gari besar dari pemikiran Steuchus dengan berlandaskan kepada keberlanjutan dari sejarah “filsafat sejati” ini. Dari sini pula istilah filsafat pernial seantiasa menempatkan peranannya.
                  Lebih lanjut, dimensi perenial dengan kesejatian abadi dalam perkembangannya dibahas dalam suatu konsep yang sangat baik oleh Goofried Wilhelm Leibniz dan kemudian dipopulerkan oleh Aldous Huxley dengan mengatakan bahwa filsafat perenial adalah metafisika yang mengakui realitas Ilahi yang subtansional bagi dunia bendawi, hayati dan akali; psikologi menemukan sesuatu yang serupa di dalam jiwa, atau bahkan identik dengan realitas Ilahi; etika yang menempatkan tujuan akhir manusia di dalam pengetahuan tentang dasar (ground) yang imanen17 dan transenden18  dari seluruh wujud merupakan hal-hal yang bersifat imemoral dan universal.19
                  Realitas metafisis sebagai bagian mendasar dari filsafat perenial mengalami perkembangan yang senantiasa ada dalam sejarah, karena filsafat perenial yang berkembang sempurna di semua waktu dan tempat telah memberkan jawaban tang secara fundamental sama. Dasr Ilahi dari segala eksistensi adalah Maha Absolut yang spiritual, tak dapt dikatakan menurt pikiran deskriptif, tetapi (dalam keadaan tertentu) dapat dialami secar langsung dan disadari oleh manusia.20
                  Maha Absolut yang spiritual sebagai reakitas Supreme yang bersifat Absolut, adalah keabsolutan-Nya yang tidak mengalami penambahan maupun pengurangan, tidak mengalami kelipatan maupun pembagian; ia, dengan demikian adalah yang sejak semula diri-Nya sendiri, dan seara total adalah diri-Nya sendiri. Sedangkan dengan ketak berhinggaan-Nya, ia sama sekali tidak dibatasi oleh faktor-faktor apapun; ia adalah potensialitas atau kemungkinan semata-mat; dan ia adalah kemungkinan dari segala sesuatu ini, tidak ada pencipta maupun yang diciptakan, tidak ada maya ataupun Samsara.21
                  Metafisika dalam perspekti filsafat perenial dimaknai dewngan pengetahuan ketuhanan yang tidak semat-mata hasil karya mental yang bias merubah setiap terjadinya perubahab budaya dalam suatu daerah ataupun dengan diketemukannya pengetahuan baru dalam dinamika kehidupan dunia. Metafisaka tradional-sebutan dalam dimensi perenial-inilah yang dalam realitasnya menjadi bagian pokok dalam metafisik. Ia adalah pengetahuan suci yang terletak dijantung setiap agama, yang menerangi setiap ritual keagamaan, ajaran serta symbol-simbolnya, kunci utama untukagam lain dibumi tanpa harus mengurangi keistimewaan-keistimewaan agam tersebut atau mengurangi komitmen keberagaman bersama untuk saling mengerti dan belajar agama orang lain.22

                  Dimensi metafisika senantiasa dimiliki dan akan ada dalam ke-Absolutannya. Untuk melihat kedudukannya masing-masing dapt dikategorisasikan dimensi berikut:
                  Yang tak terhingga merupakan dimensi intrinsic dari pemenuhan yang sesuai bagi Yang Absolut; membicarakan Yang Absolut berarti membicarakan Yang Tak Terhingga, yang stu tidak mungkin ada tanpa yang lain. Secara simbolis dapt digambarkan hubungan antara kedua realitas Suprem tersebut dengan contoh-contoh sebagai berikut. Dalm dimensi ruan, Yang Absolut adalah titik, sedang Tak terhingga adalah perluasan; dalam dimensi waktu, Yang Absolut adalh saat, sedang Yang Tak Terhingga adlah durasi; dalam tataran materi, yang Absolut adalah ether-subtansi primodial, dasar yang dimana-mana-dan Yang Tak Terhingga adalh kemungkinan rangkaian subtansi-subtansi yang tak Terhingga jumlahnya; dalam tataran bentuk, Yang Absolut adalah sphere-bentuk yang sederhan dan primodial-dan Yang Tak Terhingga adalah kemungkinan-kemungkinan rangkaian angka-angka, kuantitas-kuantitas atau totalitas.23
                  Perbedaan kedua unsure relitas suprem       diatas mencerminkan suatu tradisi yang memadukan dua aspek fundamental realitas yaitu esensi dan potensi, dengan suatu landasan keduanya adlah unsure-unsur sejati yang dimiliki oleh Yang Maha Kuasa. Keduanya akan senantiasa berjalan dalam kenyataan yang terus berlanjut disegenap dataran sejarah kehidupan manusia.         
                  Asas metafisis sebagai dimensi pokok dari filsafat perenial dinyatakan pula oleh Huston Smith denga memanfaatkan kebangkitan filsafat perenial sebagai saran untuk membangkitkan doktrin-doktrin primodial (wahyu,doktrin agama, dan tradisi suci). Berdasarkan pengalaman yang pernah dijalani, bahwa semua doktrin yang berkenaan denhgan realitas supreme-agama, mistik dan filsafat-selalu memuat “sesuatu” yang sama, dan justru tampak sebagai intinya, serta melampaui batas-batas temporal. Dari situ ia menyimpulkan bahwa memang terdapat doktrin-doktrin primodial dan universal, namun dalam sejarah manusia muncul dalam bentuk yang beragam. Dan doktrin primodial itu tidak lain adalah peranan dari dimensi perenial.24
                  Dalam penegasan yang paling mendasar stechus menyatakan tentang filsfat perenial sebagai hikmah yang berasal dari Yang Asal Ilahi, yaitu pengetahuan sacral yang diberikan oleh Tuhan kepada Adam, namun dengan semakin banyaknya jumlah manusia, ia menjadi semakin kabur.25


Akan tetapi dalam keadaan manusia yang plural ini dimensi dari hikmah abadi tidak pernah berlalu dari porosnya sebagai asas yang abadi
                  Manusia sebagai makhluk yang diberikan kepadanya pengetahuan sakral oleh Tuhan, dengan pikirannya-ia mampu mencapai esensi dan totalitas-terdapay data fundamental mengenai Sophia perenis, yaitu realitas absolute yang secar definitive menjadi kebajikan paling besar, dan juga keabadiannya-yang meliputi segala sesuatu-sebagai konsekuensi intrinsic serta menyebabkan satu proyeksi yang sifatnya relati atau sementara.26 berlandaskan kepada dimensi pkok diatas manusia senatiasa dibawa untuk mengerti akan hakikatnya yang pasti dalam dunia ini.
                  Filsafat perenial mengajarkan bahwa setiap penurunan kearah materio selalu akan diikuti adanya kenaikan kearah spiritual. Sebagaimana ajaran Upanishad:
                  “ajaran ini juga memiliki teori pancaran berkaitan dengan atman. Dikatakan bahwa dari Atman muncul ruang, dar ruang muncul udar, dari udar muncul api, dari api muncul air dan dari air muncul tanah… dalam proses kebalikannya, masing-masing elemen akan terserap kedalan unsur darimana mereka berasal, kondisi inilah yang dinamakan pralaya; dan apa yang akan tetap ada”. (Dange: 1984, hlm.26-266).27
                  Kenyataan inilah yang senantiasa tergambar dalam perjalanan dimensi-dimensi perenial dalam perjalan hidup. Dalam satu karyanya, Echoes of Perenial Wisdom (1992), Fritjof Schuon mendefinisikan filsafat perenial sebagai “the universal Gnosis28 which always has exited and always will exist-suatu pengetahuan gnoistik dimana telah ada dari dahulu kala dan akan selalu ada untuk selama-lamanya-“.29
                  Keutuhan manusia dalam menjalankan amanat yang diberikan oleh Tuhan untuk dijalankan di bumi mencerminkan bahwa dunia ini secara esensial bersifat Ilahiah, atau dalam bahasa Huxley “realtas Ilahi bersifat subtansional bagi dunia”. Hal ini juga untuk menunjukkan bahwa realitas tersusun dalam tatanan hirarkis, mulai dari Tuhan, turun kelevel spiritual, psikis, organis, dan inorganic. Hirarki tersebut berkenaan dengan besar kecilnya realitas, kekuasaan dan nilai. Semakin tinggi tingkatan, atau semakin semakin dekat dengan yang Ilahi, akan lebih besar tinggkat realitas, kekuasaan serta nilai yang dimiliki. Sebaliknya, semakin rendah tingkatan atau semakin jauh dari yang Ilahi, maka realita, kekuasaan dan nilai yang dimiliki juga akan semakin kecil.30



                  Unsure keabadian yang senantiasa ada dari sejak awal munculnya kepercayaan manusia sampai massa hidupnya sekarang adalah manifestasi dari gambaran nilai-nilai sakral yang memiliki keberlanjutan dalm setiap zaman. Berbeda dengan realitas manusia modern yang hidup dalam bingkai pengetahuan eksternal, serta tidak langsung berhubungan dengan dirinya, mereka lebih mengedepankan nuansa modernitas itu sendiri serta memotong akar-akar tradisional yang tidak lain adalah “ibu” yang melahirkan peradapan modern itu sendiri.
                  Menurut perspektif perenial, niscanya bahwa dunia modern tidak lagi memiliki cakrawa spiritual bukan karena spiritual itu tidak ada, tetapi manusia modern “hidup dipinggir lingkaran eksisitensi”. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya melalui sudut pandang pinggiran eksistensinya, tidak pada pusat spiritualitas dirinya sehingga mengakibatkan lupa akan siap mereka sebenarnya.31 karena itu, bukan ruangnya manusia untuk hidup “dipinggir eksistensi” tetapi seharusnya manusia hidup pada “Pusat Eksistensi”. Inilah pesan kearifan perenial.32 suatu Sophia perennis yang akan membimbing manusia untuk mengerti dimana mereka harus berpijak.
Pesan kearifan Sophia perennis ingin kembali mengangkat pesan moral untuk kembali kepada fitrah manusia.33 manusia mengalami krisis karena telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia. Karena itu, manusia perlu menghidupkan kembali fitrah asasinya dalm kehidupan sehari-hari. Firth asasi manusia-seperti berkiblat pada keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi, sikap inklusif ditengah pluralitas-harus menjadi komitmen dalam keseharian hidup manusia.34











Catatan kaki:
1.      John M. Echoles dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakrarta: Gramedias, 200).hlm. 425
2.      Gerald O’Collins, S.j. dan G. Farrugia, S.J., kamus Teologi, hlm. 82.
3.      Lihat kata pengantar Sayyed Hossein Nasr dalam: Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terj., Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 7.
4.      Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Massa Depan, hlm. 40.
5.      Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat abadi, hlm. 43.
6.      Ibid, hlm. 44
7.      Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, agama Massa Depan Perspektif Filsafat Perenial, hlm.41.
8.      Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, hlm. 36
9.      Ibid.
10.  Ibid, hml.37.
11.  Ibid, hlm. 39.
12.  Ibid, hlm. 41
13.  Ibid, hlm. 47
14.  Ibid, hlm.48
15.  Seyyed Hossein Nasr, The Need for Sacred Science ( Albany; state University of New York Perss, hlm 1993), hlm. 8.
16.  Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak jejak Filsafat abadi, hlm. 47
17.  Imanen, yang ada di dalam, yang beropersi dalam suatu proses. Tuhan yang imanen berada di dalam struktur alam, mengambil bagian yang menentukan dalam proses-prosesnya, serta kehidupan manusia. Lihat, Harold H. titus (dkk) persoalan-persoalan Filsafat terj., H. M. Rasdjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 511.
18.  Transenden, sesuatu yang jauh diatas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman. Dalam teologi, istilah ini bererti bahwa Tuhan itu diluar atau jauh dari dalam. Ibid., hlm. 520.
19.  Aldous Huxley, Filsafat Perenial, terj., Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qolam, 1001), hlm. 1.
20.  Ibid, hlm. 37.
21.  Ahmad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Fisafat abadi, hlm. 178.
22.  Seyyed Hossein Nasr, The Need for Scired science, hlm. 54.
23.  Ibid
24.  Ibid, hlm. 5
25.  Ibid, hlm. 149
26.   Frithjof Schuon, transfigurasi Manusia, terj., Fakhruddin Faiz (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm 82.
27.  Ahmad Permata, Perenialisme Melacak Jejak filsafat Abadi. Hlm. 90.
28.  Gnosis adalah suatu pengetahuan tanpa perantara yang mengungkapkan sesuatu yang universal. Baca, Ma’an Ziyadah, Al-Mausu’ah al-Faslsafiyyah al-alrabiyah (Al-Ma’had al-inma’ al-arabi, 1986), hlm. 587.
29.  Fritjof Schoun, trasfigurasi Manusia. Hlm. x
30.  Ahamad Norma Permata. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, hlm. 74.
31.  Fritjof Schoun. Transfigurasi Manusia, hlm. xv
32.   Sukudi, New Age Wisata Spiritual Lintas Agama (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 72.
33.  Fitrah, sifat dan watak primodial suci, di dalam sifat dan watak primodial, setiap mikrokosmos manusia merupakan bentuk lahiriah dari makna batiniah. Makna batiniahnya diberi nama “Allah”. Sifat dan watak primodial pertama kali tampak pada perjanjian antara Allah dan anak keturunan adam yang belum diciptakan. Setiap anak dilahirkan sesuai dengan perjanjian ini. Lihat: Amatullah Amstrong, kunci Memasuki Dunia Tasawuf, hlm. 72.
34.  Ibid, hlm. 21.















      Daftar pustaka:
      M. Echols, john dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2000.
O’Collins, S.J., Gerald dan Edward G. Farrugia, S.J., A concise Dictonary of Theologia, terj., I. Suharyo, Pr. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Schuon, Frithjof. Islam dan Filsafat Perenial., terj., Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1998.
Hidayat, Komaruddin dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Massa Depan Perspektif Pereniali. Jakarta: Gramedia, 2003.
Permata, Ahmad Norma. Perenialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Nasr, Seyyed Hossein. The Need for Sacred Sciece. Albany: state University of New York Press, 1993.
h. Titus, Harold, dkk., Persoalan-persoalan Filsafat. Terj, H. M. Rasdjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Huxley, Aldous. Filsafat Perenial, terj., ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam, 2001.
Schoun, Frithjof. Transfigurasi Manusia, ter., Fakhruddin Faiz. Yogyakarta: Qalam, 2002
Ziyadah, Ma’an. Al.-Mausu’ah al-Falsafiyyah al-Arabiyah., Al-Ma’had al-inma’ al-Arabi, 1986




                             

   
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar