BAB I
Pendahuluan
A.
Latarbelakang
Pondok
pesantren termasuk lembaga pendidikan non-formal yang banyak terdapat di
Indonesia. Hal ini juga diakui sebagai
bagian dari sistim pendidikan sebagaimana disebut dalam U.U. Pendidikan NO. 2
tahun 1989.1 pesantern
disebut sebagai lembaga non-formal karena eksistensinya berada dalam jalur
pendidikan kemasyarakatan. Pesantern memiliki program-program pendidikan yang disusun
sendiri yang pada umumnya bebas dari ketentuan formal. Kyai dan para asistennya
bersama-sama mengawasi secara langsung lingkungan kehidupan asrama dalam
melaksanakan program penddikan ini.
Dengan demikian, pasantren bukan hanya tempat belajar mengajar, melainkan
proses hidup itu sendiri.2
Keberadaan
manusia sejak lahir memiliki kualitas yang berbeda dari mahluk Tuhan lainnya
baik secara fisik maupun non-fisik. Keadaan manusia sama sekali kurang matang
dan dalam proses pertumbuhannya ia harus bergantung kepada sesamanya atau orang
lain di sekitarnya.3
Dalam
proses mencapai perkembangan dan kematangan ini sering terjadi dan konflik
dalam diri individu. Dengan adanya konflik itu membuktikan bahwa didalam diri
manusia selalu terdapat perjuangan untuk membentuk dan merubah diri supaya bias
menjadi individu yang lebih baik. Karena pada dasarnya manusia itu telah diberi
potensi baik dan buruk dalam dirinya serta kebebasan untuk memilih dan
mengaktulisasikan dua potensi itu.
Dalam mengembangkan dua
potensi tersebut manusia lebih berpotensi besar untuk dipengaruhi, diterpa dan
dibentuk oleh kondisi lingkungannya, karena perkembangan hidup manusia tidak
hanya ditentukan oleh pengalaman pribadinya, akan tetapi lebih banyak
ditentukan oeh kemammpuanya belajar dan menerima pembelajaran. Proses ini
dilakukan untuk mengembangkan dan mempersiapkan seseorang untuk kehidupan dunia
dan akhiratnya.
1 Khatib
Ahmad Santhut, menumbuhkan sikap social,
moral dan spiritual anak dalam keluarga muslim, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
1998), hlm.3.
2
Muhammad Rofangi, Posisi Kyai Dalam
Pengembangan Tradisi Pesantren, dala: Religius
Iptek,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm .169.
3
Sujarwa, Manusia Dan Fenomena Budaya,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1999), hlm.
Agama adalah kebutuhan ruh yang utama pada diri manusia, maka sejak dini
proses mengembangkan dan mempersiapkan diatas dapat ditanamkan pada diri manusia yang
teraktualisasikan dalam bentuk ibadah. Kesadaran beragama ini aharus menjadi frame bagi kehidupan manusia untuk
menjiwai hidup berbudaya, berekonomi, berpolitik, bersosial, dan beretika.4
Seseorang yang sejak awal dikenalkan nilai-nilai agama maka diharapkan
corak kepribadianya terakualisasikan dalam bentuk tingkah laku fisik maupun
psikis sebagai wujud jiwa yang berkepribadian islami. Sebab, nilai-nilai agama
berperan penting dan merupakan unsur yang terpenting membentuk sikap mental
bagi seseorang.
Yang mengemban tugas mewujudkan semua itu adalah lembaga formal, informal,
non-formal. Kembali lagi pada pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan
non-formal. Peran penting pondok pesantren yang patut diperhatikan, yakni
sebagai alat tansformasi kultur yang menyeluruh dalam kehidupan masyarakat.
Jawaban terhadap panggilan keagamaan dan pengayoman serta mendukung kepada
manusia yang bersedia menjalankan perintah agama dan mengatur hubungan antar
mereka merupakan latar berdirinya pesantren.
Pesantren juga lembaga pendidikan islam yang mengajarkan kitab-kitab
islam besar dan klasik kepada para santri. Disini para santri dapat mengembangkan intelektual dan wawasan
pengetahuan terhadap agama dengan mendasarkan kitab-kitab yang diajarkan di
pondok pesantren. Dengan demikian, pesantren merupakan pusat intelektual
tersendiri.5
Kebiasaan dalam kehidupan islami memungkinkan terbentuknya pengalaman
hidup yang baik bagi para santri. Maka penerapan pendidkan aktual di asrama
dibawah bimbingan kyai dan para asistennya, nilai-nilai keagamaan yang
diterapkan di pondok pesantren dalam mewujudkan itu akan menjadi kebiasaan
hidup yang mendasar bagi para santri. Dengan cara demikian, setiap santri
nantinya diharapkan tidak terpengaruh dengan akibat negatif dari perubahan sosial
sebagai konsekuensi proses modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
4 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo,2000), hlm.
89.
5 M. Nashihin, Dinamika Pesantren, (Jakarta: P#M,
1998), hlm. 10.
Di era modern ini terlihat gejala-gejala perubahan nilai-nilai kehidupan
dalam masyarakat kita diantaranya:
1. Pola hidup dari yang
semula bersifat sosial relijius cenderung bergeser kearah pola kehidupan yang
individual-matrealistik dan sekuler.
2. Pola hidup sederhana dan
produktif cenderung kearah pola hidup mewah dan konsumtif.
3. Nilai-nilai agama dan
tradisional masyarakat cenderung berubah menjadi nilai-nilai modern yang
bercorak sekuler dan serba boleh(permissive
society). 6
Untuk menghadapi pergeseran nilai-nilai ini , maka diharapkan pesantern
dapat menjadi salah satu dari sekian banyak sisitem yang mampu mewujudkan
generasi bangsa yang berkualitas serta menjadi manusia yang berilmu dan
bertaqwa kepada Allah SWT.
6 Dadang Hawari, Al-Qur’an ilmu kedokteran dan kesehatan
jiwa, ( yohyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), hlm. 9.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kolam kepribadian
1.
Pengertian kepribadian
Jalaludin dalam buku psikologi agama menerangkan,
istilah-istilah yang dikenal dalam kepribadian adalah
a) Mentality, yaitu situasi mental yang dihubungkan dengan mental ata
intelektual
b) Individuality, yaitu sifat khas seseorang yang menyebabkan
seseorang mempunyai sifat berbeda dari orang lain.
c) Identity, yakni sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat
mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar.7
Menurut Prof.
Kohnstam bahwa dalam kepribadian manusia terkumpul beberapa aspek yang
terintegrasi, berupa;
1) Keyakinan hidup yang
dimiliki seseorang: filsafat, keyakinan, cita-cita, sikap dan cara hidupnya.
2) Keyakinan mengenai diri: perawakan
jasmani, sifat psikis, emosi, intelejensi, kemauan, kemampuan bergaul, memimpin
dan bersatu.
3) Keyakinan mengenai
kemampuan diri; status diri dalam keluarga dan masyarakat, status social
berdasarkan keturunan dan historis.8
Atau dengan kata lain kepribadian itu menggambarkan tentang
keseluruhan kualitas jiwa baik yang diwarisi dari oran tua atau leluhur, maupun
diperoleh melalui pengalaman hidup.9 keduanya memberikan kekhususan
dan keunikan yang mebedakan seorang pribadi dan pribadi yang lain. Sebab,
kepribadian manusia merupakan aktualisasi proses kehidupan yang bebas,
terintegrasi sacara social dan yang menyadari keberadaan jiwanya.
7 Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: P.T Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 149.
8 Ibid
9 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi
Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997),
hlm. 103.
1.
2.
Konsep Islam tentang
kepribadian
Islam
memandang beberapa aspek jiwa mempengaruhi tindakan. Aspek jiwa tersebut ialah:
a. Kalbu
Kalbu
merupakan materi organic yang memiliki sisitem kognisi emosi.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut dengan an-nur al-ilahiyah (cahaya ketuhanan)
dan al-bashirah al-bathiniyah (mata
batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan.
Zamakhsyary menegaskan bahwa kalbu diciptakan Allah dengan fitrah asalnya
dan memiliki kecenderungan untuk memnerima kebenaran dari-Nya. Kalbu ini
berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali struktur nafs yang lain.10
Daya emosi ada yang positif dan aa yang negative. Emosi posited misalnya
cinta, riang, percaya (iman), tulus (ikhlas). Sedangkan emosi negative seperti
benci, sedih, ingkar (kufur), mendua (nifaq). Daya emosi kalbu dapat
teraktualisasikan melalui rasa intelektual, rasa indrawi, rasa etika, rasa
estetika, rasa rasional, rasa ekonomi, dan rasa relijius.
b. Akal
Akal meruoakan daya berfikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang
rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Akal secara psikologis
memiliki funsi kognisi ( daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum yang
mencakup semua bentuk pengalaman kognisi yang meliputi: memlihat,
memperhatikan, mengamati, berpendapat, berimajinasi, memperediksi, menduga,
mengasumsikan, mempertimbangkan, dan melinilai.11 sedangkan menurut islam akal merupakan ikatan
yang terdiri dari tiga unsure: yaitu pikiran, perasaan, dan kemauan.12
10 abdul Mujib dan Mudzakir , Op.cit, hlm. 48.
11 Ibid, hlm. 53.
12 Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori suroso, psikologi Islami: solusi Islam Atas
Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm 158.
2.
c. Nafsu
Arti nafsu yang pertama, yakni dorongan agresif (ganas) dan dorongan
erotic (birahi) yang menjadi sumber malapetaka atau kekacauan bila
tak-terkendali.
Adapu arti yag kedua, yakni dorongan lembut dan tenag serta diundang oleh
Tuhan untuk masuk ke dalam surge.13
Nafsu dalam arti psikologi lebih dikenal dengan sebutan konasi (daya
karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, bekemauan, dan
berkehendak. Aspek konasi kepribadian dilandasi dengan tingkah laku yang
bertujuan untuk berbuat.14
3.
Faktor yang mempengaruhi
keprbadian
a. Hereditas
(keturunan/pembawaan)
Hereditas merupakan faktor pertama yang dapat mempengaruhi individu.
Dalam hal ini Hereditas merupakan karkteristik individu yang diwariskan orang
tua kepada anak, atau sega;la potensi baik fisik maupun psikis yang dimiliki
individu sejak massa konsepsi (pembuahan ovum oleh seperma) sebagai pewaris
pihak orang tua melalui gen-gen.15
Mansyur Ali Rajab mengatakan ada lima hal yang dapat diwariskan orang tua
kepada anaknya, yaitu:
pertama, pewarisan yang bersifat jasmani,
serti warna kulit, bentuk tubuh sifat rambut dan sebagainya.
Kedua, pewarisanyang bersifat intelektual seerti
kecerdasan dan kebodohan
Ketiga, pewarisan yang bersifat tingkah laku,
seperti lemah lembut atau keras, taat atau durhaka.
Keempat, pewarisan yang bersifat alamiah,
yakni pewarisan internal yang dibawa sejak lahir anak tanpa pengaruh dari
faktor eksternal
Kelima, pewarisan yang bersifat
sosiologis, yaitu pewarisan yang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal.16
15 Syamsu Yusuf, psikologi Perkembangan anak dan Remaja,
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.31.
16 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Op. cit, Hlm. 117.
b. Lingkungan perkembangan
Lingkungan perkembanga ini diartikan sebagai kseluruhan fenomena yang
mempengaruhi perkembangan kepribadian.17 lingkungan perkembangan ini
meiputi:
Pertama, lingkungan keluarga.
Karena keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan kepribadian anak. Orang tua yang merawat penuh kasih saying dan
mendidik dengan nilai-nilai kehidupan baik itu nilai agama maupun nilai social
budaya yang deberikannya merupakan faktor yang kondusif untu mempersiapkan anak
menjadi pribadi sekaligus anggota asyarakat yang sehat.
Keluaraga sebai lembaga yang pertama dalm pemenuhan kebutuhan untuk
perkembangan kepribadiannya dengan cara perawatan dan perlakuan yang baik dari
orangtua, dengan tujuan anak dat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya
(fisik-biologis maupun sosio-psikologis).
Jika kita kaitkan dengan fungsi agama, keluarga dapat berfungsi
menanamkan nilai-nilai agama kepada buah hati (anak) supaya sank memiliki
pedoman hidup yang benar.
Kedua, lingkungan sekolah.
Lembaga pendidikan yang secara sisitematis melaksanakan program-program
bimbinga, pelatihan, yang berfungsi mengembangkan potensi manusia menyangkut
aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, maupun social.
Atau dengan kata lain sekolah merupakan faktor penentu bagi perkembangan
kepribadian anak dalam ara berfikir, bersikap, maupun cara berprilaku.18
Ketiga, teman sebaya.
17 Abdul Mujib dan jusuf Mdzakir, Op.cit,hlm. 117.
18 Sarltop wirawan, pengantar umum psikologi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1982), hlm. 90.
Peran teman sebaya sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak
terutama karena lingkungan sebaya merupakan kelompok suatu kelompok yang baru,
yang memiliki cara, norma yang jauh berbeda dari apa yang ada dalam lingkungan
keluarganya.19 dari uraian tersebut maka remaja harus memiliki
kemampuan pertama dan baru dalam menyesuaikan diri dan dapt dijadikan dasar
hubungan social yang lebig luas.
4.
Maksud kepribadian islam
Kepribadian dalam psikologi islam adlah terintegrasinya sistem kalbu,
akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku.20
Bias dengan kata lain keribadian terbentuk dari:
a. Adanya sistem kalbu
merupakan hakikat manusia yang mengenal dan mengetahui segalanya serta menjadi
sasaran perintah dan tuntutan Tuahan.
b. Sistem akal sebagai daya
pikir atau potensi intelejensi.
c. Sistem nafsu merupakan
dorongan agresif disamping juga dorongan yang lembut dan tenag.
Kepribadian islami, yakni tingkah laku seseorang yang menilai baik dan
buruknya berdasarkan ajaran agama islam. dan kesemuanya itu menggambarkan
kepribadian muslim yang berupa:
a. Beriman dan bertaqwa
b. Gemar dan giat beribadah
c. Berakhlak mulia
d. Giat menuntut ilmu
e. Bercita-cita pada dunia
dan akhirat21
B.
Tentang pondok pesantren
1.
Definisi pondok pesantren
Kata pondok pesantern terdiri dari dua kata yaitu kata
pondok, yang berasal dari kata Funduq (bahasa
Arab) yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederhana. Karena
19 Andi Mappiere, Psikologi Remaja, ( Surabaya:
Usaha Nasional, 1982), hlm. 157
20 Abdul Mujib dan Jusuf mudzakir, Op.
cit, hlm 58
21 Abu Tauhid, beberapa Aspek Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Fak Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga, 1990), hlm 58.
Pondok memang temapat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh
dari asal tempatnya. Kata pesantren, yang berasal dari kata santri kemudian ada
imbuhan awalan pe- dan akhiran –an yang artinya menunjukkan tepat. Maka pondok
pesantern dapat diartikan tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai
gabunga kata sant (manusia baik-baik) dengan suka kata tra (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat mendidik untuk mencetak manusia
baik-baik.22
Jika ditinjau secara istilah maka pesantren adalah lembaga pendidikan
yang cirri-cirinya dipengaruhi oleh dan ditentukan oleh pribadi para pendiri
dan pemimpinnya, dan cenderung tidak mengikuti pola atau jenis tertentu.
Dalam paling umum pondok pesantren dibedakan denga pisat ibadah islam
(masjid) yang dapat diartikan lembaga pengajaran dan pelajaran ke-islaman.23
2.
Tujuan pendidikan dalm
pesantren
Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan yang bernafaskan islam. tentu saja
pondok pesantren didirikan tidak terlepas dari nalai-nilai ruh yang ada dalam
filsafat pendidikan islam.
untuk
mengetahui tujuan pendidika pesantren mari kita terlebih dalu memahami tujuan
hidup manusia menurut islam. Al-Qur’an menginformasikan bahwa nmanusia
diciptkan dimuka bumi untuk menjadi Abdullah dan khalifah dimuka bumi ini. Jika demikian tujuan hidup
manusia, maka pendidikan di pesantren bertujuan untuk mengembangkan pikiran
manusia dan mengatur tingkah laku serta perasaan berdasarkan islam. dan
merealisasikan ubudiyah Allah di dalam kehidupan manusia, baik sebagi individu
maupun sebagai anggota masyarakat.24
Pondok
pesantren juga merupakan tempat wahana pelatihan dalam pengembangan
kepribadian. Pengembangan kepribadian ini merupakan usaha terencana untuk
meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketarmpilan dan sikap yag mencerminkan
kedewasaan pribadi guna meraih kondisi yang lebih baik lagi mewujudkan citra
diri yang diidam-idamkan.25
Usaha ini dilandasi
kesadaran luar bias bahwa manusia sebagai “the self determining being” memiliki
kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik bagi dirinya dalam rangka
mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
22 Manfred Ziemek, pesantren
dalam perubahan social, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 98, juga Zamakhsyari Dofier,
Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S), hlm. 18.
23 Manfred Ziemek, Op.cit,
hlm. 101.
24 Muhammad Busyro, problem
pengembangan tradisi Pesantren, dalam: religiusitas IPTEK, Op.cit, hlm 189.
25 Hanna Djumhana Bastama,
Op.cit, hlm. 127.
3.
Sistem pendidikan
pesantren
a.
Metode pendidikan
Dalam hal ini ada beberapa metode pendidikan yandf dapat berpengaruh pada
anak dal upaya mempersiapkan santri secara mental, moral, spiritual dan sosial:
1) Pendidikan dengan
keteladanan
2) Pendidikan dengan adat
istiadat
3) Pendidikan dengan nasehat
4) Pendidikan dengan
pengawasan
5) Pendidikan dengan hokum
(sanksi).26
Disamping itu menurut Prof. dr. Una kartawisastra ada juga strategi yang
digunakan dalam pendidikan, yakni;
Pertama, strategi tradisional, caranya dengan memberikan nasehat dan
indoktrinasi
Kedua, strategi bebas, caranya dengan memberikan kebebasan
sepenuhnya kepada pesertadidik untuk memilih dan menentukan sendiri nilai-nilai
yang diambil.
Ketiga, strategi memberiakan contoh, yaitu dengan menggunakan
tehnik mengajar nilai-nilai yang baik dan buruk serta memberikan contoh tentang
sesuatu tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut.
lKeempat, strategi klarifikasi nilai, yaitu proses membantu
peserta didik dalam menentukan nilai-nilai yang akan dipilihnya.
Sedangkan menurut prof. Dr.
darmiyati, ada dua metode yang dapat diterapkan untuk strategi pendidikan
nilai-nila, yaitu;
Metode
langsung, dimulai dengan penentuan prilaku yang dinalai baik, sebagai upaya
indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya, memusatkan perhatian secara langsung
kepada ajaran tersebut, dengan memaparkan, memberikan ilustrasi, mendiskusikan
dan mensimulisasi denan mengucapkan dan menghafalkan.
Metode tidak langsung,
yaitu tidak dimulai dengan menentukan prilaku yang diinginkan, tetapi dengan
menciptakan situasi yang memungkinkan prilaku yang baik dapat dipraktikkan.27
26 abdullah Nashih Ulwan, Kaidah-Kaidah Dasar, (Bandung: P.T.
Remaja Roda karya, 1992), hlm. 1.
27
Machfudz Fauzi, permasalahan pendidikan akhlak dalam kurikulum 1997 fakultas
dakwah dalam jurnal dakwah, Yogyakarta; Fakultas Dakwah), No. 02, hlm. 58-59.
b.
Metode pemahaman dan
pengembangan kepribadian
Berbagai macam
metode dan pengembangan pribadi;
a. Pembiasaan; melakukan
suatu perbuatan tau ketrampilan tertentu secara terus menerus dan konsisiten
untuk waktu cukup lam,sehingga perbuatan dan ketrampilan benar-benar dikuasai
dan akhirnya menjadi suatu kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan
b. Peneladanan: mencontohkan
pemikiran, sikapi, sifat, dan prilaku dari orang-orang yang dikagumi untuk
kemudian mengambil alihnya sebai sikap, sifat dan prilaku pribadi.
c. Pemahaman: penghayatan dan
penerapan: secara sadar berusaha untuk mempelajari dan memahami hal-hal (nilai-nilai,
asas, dan prilaku) yang dianggap aik dan bermakana, kemudian berusaha untuk
mendalami dan menjiwainya, lalu mencoba menerapkan dala kehidupan sehari-hari.
d. Ibadah; baik ibadah khusu
yaitu shalat, puasa, zakat, haji, maupun ibadah dala arti umum, yakni berbuat
kebajikan dengan niat semata-mata karena Alllah.28
28 Hanna Djumhana Bastama, Op.cit, hlm 127.
Tfl..
BalasHapus